Kita sedang menyaksikan sebuah kenyataan pahit: masyarakat makin jauh dari ilmu. Ketika ilmu ditinggalkan, mimbar agama pun berubah fungsi—dari tempat mengajarkan kebenaran menjadi panggung terbuka bagi siapa saja, termasuk mereka yang jelas-jelas menyimpang dari adab dan hukum syariat.
Perilaku yang melanggar ketentuan syariat yang qath‘i, meremehkan adab ilmiah, bahkan mempermainkan batas-batas agama yang suci, justru diberi ruang untuk disampaikan di hadapan publik. Seakan-akan mimbar tak lagi dilihat sebagai amanah, tetapi sebagai hiburan yang dibungkus dengan tawa.
Kasus Ilham hanyalah salah satu titik kecil dalam deretan panjang penyimpangan yang terus berulang. Sebelumnya kita melihat Miftah, Muwafiq, dan sejumlah nama lain yang menampilkan pola serupa: berbicara tanpa ilmu, melontarkan candaan yang merendahkan agama, atau menabrak garis syariat dengan enteng—tanpa rasa tanggung jawab.
Yang lebih menyedihkan adalah reaksi sebagian jamaah. Alih-alih mengoreksi, mereka justru tertawa. Alih-alih mengingatkan, mereka membela. Ukuran kebenaran tidak lagi ditimbang dari dalil, tetapi dari seberapa lucu ucapan yang disampaikan. Seolah agama cukup dijadikan komedi tanpa konsekuensi.
Baru ketika gelombang kritik masyarakat menguat, barulah muncul permintaan maaf, klarifikasi, atau alasan “kepleset lidah”. Kesadaran itu bukan lahir dari rasa takut kepada Allah, tetapi muncul karena tekanan publik. Bukan karena ilmu, tetapi karena komentar netizen yang memojokkan.
Fenomena ini menunjukkan betapa mimbar telah berubah. Dahulu, seseorang yang naik mimbar dipilih karena akhlaknya, ketakwaannya, serta kedalamannya dalam ilmu. Duduk di sana adalah amanah berat, sebab suara yang keluar dari mimbar adalah suara kebenaran. Kini, standar itu runtuh. Cukup bermodalkan kamera, pengikut media sosial, dan kemampuan retorika, seseorang bisa tampil sebagai “tokoh agama”.
Ilmu digeser oleh popularitas. Kebenaran dikalahkan oleh viralitas. Adab tunduk pada rating.
Masyarakat yang menjauh dari majelis ilmu pun semakin sulit membedakan antara ulama dan pelawak, antara dakwah dan dagelan, antara nasihat dan keributan yang tak berisi.
Kasus-kasus seperti Ilham, Miftah, dan Muwafiq bukanlah anomali. Mereka adalah gejala dari penyakit sosial yang sudah lama kita biarkan: kebodohan yang dianggap biasa, dan penyimpangan yang terasa lumrah. Kita marah hari ini bukan karena masalahnya baru muncul, tetapi karena ia kini terlihat jelas di depan mata.
Selama masyarakat malas belajar, selama ilmu digantikan sensasi, penyimpangan akan terus berulang. Akan selalu ada sosok baru yang muncul, berbicara sesuka hati, ditertawakan jamaah, disebarkan jutaan akun, lalu meminta maaf ketika publik marah. Sebuah siklus kebodohan yang berputar tanpa henti.
Inilah potret getir zaman kita: mimbar taklim menjadi ruang di mana kesalahan bisa tampil percaya diri, sementara kebenaran harus berteriak keras untuk sekadar terdengar.
Selama umat tidak kembali kepada ilmu yang benar dan ulama rabbani, mimbar akan tetap menjadi tempat di mana penyimpangan dianggap hiburan, dan para penyimak pun terus bertepuk tangan saat agama dipermainkan.
Jangan lewatkan kesempatan emas ini! Hubungi Tanmia Center sekarang dan wujudkan impian kuliah di Universitas Al-Azhar dengan lebih mudah dan terjamin!
☎️ 0856-1188-819
Jl. Margonda No.250, Kemiri Muka, Kecamatan Beji, Kota Depok, Jawa Barat 16423